Yang Beku Bikin Pilu (dari Gatra dotcom)

- Juli 31, 2017

Yang Beku Bikin Pilu (dari Gatra dotcom)

 
Ke hidup-an keluarga Edy Prawoto bergantung pada daging sapi. Edy, 41 tahun, ayah seorang anak ini, merupakan satu dari puluhan pedagang daging sapi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kini ia terasa masygul, rezekinya seret. "Nyari uang kok makin sulit saja, ya," ia mengeluh. Pangkalnya merupakan harga daging yng terus meroket sampai-sampai memukul omset. "Kalau mahal begini, pembelinya berkurang, pendapatan juga merosot," tutur Edy yang dengannya nada pilu.
Di Jakarta, harga daging sapi kini mencapai Rp 53.000 sampai-sampai Rp 60.000. "Padahal, sebelumnya saya bisa jualan dengan harga Rp 45.000," kata warga Duren Tiga, Jakarta Selatan, itu. Walhasil, Edy, yng dulu mampu menjual 30 kilogram per hari, kini cuma mampu menjual 10 kilogram per hari.
Akan tetapi, disaat teman-teman senasib, sesama pedagang daging di Jakarta, ramai-ramai berunjuk rasa di di Istana Presiden, bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendesak pemerintah supaya menurunkan harga daging, Rabu pekan lantas, Edy memilih tetap di tinggal kiosnya. Bukan berguna ia tidak setuju. "Kalau ikut-ikutan demo, tak bisa jualan. Dapur saya tidak ngebul," ujarnya sambil tersenyut pahit. Demo itu pula diikuti mogok jualan selama tiga hari, dari Rabu sampai-sampai Jumat pekan lantas.
Demo pedagang daging itu mengingatkan kembali pada aksi demo perajin tahu serta tempe, bulan lantas. Disaat itu, orang-orang pula meminta pemerintah menurunkan harga kedelai, bahan baku tahu serta tempe. Hasil nya manjur. Pemerintah lantas menghapus bea masuk kedelai impor, yng menyumbang 60% di pasar Indonesia. Harga kedelai menurun, walau masih di atas level semula.
Kemudian, bagaimana yang dengannya daging sapi? "Daging sapi bukan komoditas khusus. Jadi, pemerintah tidak punya kewenangan khusus untuk mengatur harga," kata Tjeppy D. Soedjana, Direktur Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian (Deptan). Yang dengannya begitu, pendapat dari dia, harganya, ya, ditentukan oleh mekanisme pasar.
Lonjakan harga daging sapi itu dipicu beberapa karena. Yang utama merupakan daging impor. Maklum, hampir 90% pasokan daging sapi bagi atau bisa juga dikatakan untuk Jakarta yng 100 ton per hari merupakan hasil impor --berupa daging impor beku ataupun sapi impor yng digemukkan serta dipotong di sini. Maka, disaat harga sapi di negeri asalnya naik, harga di sini pun terimbas.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk urusan daging sapi, Indonesia amat bergantung pada Australia. "Negeri kanguru" itu merupakan satu dari tiga negara yng bebas penyakit kuku serta mulut ataupun sapi gila (madcow). Dua yng lain merupakan Indonesia sendiri serta Selandia Baru. Harga daging beku serta sapi bakalan (yng digemukkan) naik tajam sejak Desember lantas. "Australia sedang wet season," ujar Tjeppy.
Hujan memicu sebagian wilayah Australia dilanda banjir menjadikan transportasi seret. Selain itu, hujan serta banjir pula membuat pasokan pakan sapi berkurang lantaran tanaman jagung terendam. Di tatkala suplai dari Australia berkurang, permintaan dari negara lain tetap. Maka, harganya pun naik.
Telah begitu, kurs dolar Australia atas dolar Amerika terus menguat. Padahal, pembelian daging serta sapi bakalan selama ini memakai mata uang dolar Amerika. Akibatnya, harganya pula melambung.
Pada 2006, rata-rata A$ 1 senilai US$ 0,7. Tahun 2007, mata uang "negeri kanguru" itu menguat menjadi US$ 0,8 per dolar Australia. Tatkala ini, A$ 1 percis yang dengannya US$ 0,92. Menjadi perbandingan, bagi atau bisa juga dikatakan untuk harga sapi bakalan yng akan digemukkan di Indonesia, pada akhir Desember 2007, harganya masih US$ 1,96 per kilogram. Tatkala ini US$ 2,25 per kilogram.
Kenaikan harga minyak, kata Tjeppy, memberi pengaruh juga kenaikan harga daging sapi. "Karena biaya transportasinya juga naik," ujarnya. Begitu pula kenaikan harga pakan sapi di dalam negeri yng naik 30%. "Kalau harga jual tidak naik, perusahaan penggemukan sapi bisa bangkrut," ia menambahkan.
Di Indonesia, pada tatkala ini berdiri 22 perusahaan penggemukan sapi (feedlot), yng memasok 500.000 ekor sapi potong per tahun. Ini setara yang dengannya 100.000 ton daging sapi per tahun ataupun hampir 20% kebutuhan nasional yng 480.000 ton. Sisanya berasal dari sapi lokal sebanyk 345.000 ton (72%) serta impor daging beku 35.000 ton (8%).
Bila menilik statistik itu, daging lokal lebih lebih banyak didominasi dibandingkan yang dengannya daging impor. "Seharusnya harga daging lokallah yang lebih menjadi penentu harga pasar," kata Dayan Antoni P. Adiningrat, Government Relations & Business Development Manager PT Santori Agrindo (Santori). Perusahaan ini mengelola bisnis penggemukan sapi di tiga tempat, yaitu Probolinggo (Jawa Timur) dan Bekri serta Jabung di Lampung.
Akan tetapi, yng berlangsung selama ini, daging sapi beku impor lebih lebih banyak didominasi menentukan harga pasar. Dayan menyangka, pasokan daging lokal tak sebesar yng disebutkan. "Kami mensinyalir, lebih banyak daging impor beku yang masuk," ujarnya. Ketimbang mengimpor daging sapi beku, pendapat dari Dayan, pemerintah lebih baik mendorong bisnis penggemukan sapi bakalan ataupun peternakan sapi lokal oleh warga atau juga bisa dikatakan masyarakat. "Ada nilai tambah buat bangsa ini," ujarnya.
Bisnis penggemukan sapi bakalan mampu di lakukan yang dengannya dua tatacara, yaitu peternakan inti rakyat serta kerja percis yang dengannya warga di sekeliling dalam hal penyediaan pakan (plasma). Model peternakan inti rakyat dioperasikan yang dengannya tatacara khas, yaitu perusahaan inti menyerahkan sapi bakalan ke plasma bagi atau bisa juga dikatakan untuk digemukkan.
Modal kerjanya berupa sangkar, konsentrat, serta vitamin yng dibeli yang dengannya dana dari pinjaman bank. Perusahaan inti bertindak menjadi penjamin. Pada tatkala panen, petani mendapatkan hasil bersih, yaitu harga sapi dikurangi pinjaman.
Model kedua, petani di sekeliling tempat penggemukan sapi meneken perjanjian yang dengannya feedlot. Perusahaan penggemukan menyediakan bibit, pupuk, serta obat hama tanaman --untuk jagung menjadi pakan sapi. "Petani menerima hasil panen setelah dikurangi biaya bibit, pupuk, dan obat hama tanaman itu," kata Dayan. "Kedua cara itu masing-masing punya nilai lebih dan kurang, bergantung pada keadaan," ujarnya.
Pemerintah, kata Tjeppy, sebetulnya tidak ingin bergantung pada daging impor, lebih-lebih impor daging beku. "Kita menargetkan, ada swasembada pada 2010 nanti," ujarnya. Toh, swasembada yng dimaksudnya bukanlah 100% kebutuhan domestik dicukupi yang dengannya sapi lokal. Pengertian swasembada itu, kata dia, kalau pasokan dari dalam negeri mencukupi 90% kebutuhan. Pada 2010 itu, pemerintah menargetkan volume impor cuma 9,8%.
Populasi sapi domestik, pendapat dari Tjeppy, sebetulnya terus meningkat. Pada 2006, misalnya, populasinya 10,3 juta serta meningkat menjadi 11 juta tahun 2007. Toh, ini tidak cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi per tahun, yng setara yang dengannya 2 juta ekor sapi. Karena tidak seluruh sapi mampu dipotong ataupun siap potong, lantaran tidak sedikit juga yng masih muda. Di luar itu, tidak seluruh sapi yng diternakkan dimaksudkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk sapi potong. Sebagian ada yng dipelihara bagi atau bisa juga dikatakan untuk keperluan membajak sawah serta ladang.
Adanya keseringan di warga atau juga bisa dikatakan masyarakat yng menjual sapi betina seusai anakannya mampu menggantikan peran sang induk pula membuat hasrat swasembada sapi terancam. "Karena itu, kami mengupayakan agar induk sapi tak masuk rumah potong," ujarnya. Selain itu, di lakukan relokasi sapi, lebih-lebih sapi bali, yng punya kemampuan berbiak tiap tahun. "Agar produksi sapi makin tinggi," ia menambahkan.
Upaya peningkatan populasi sapi pula di tempuh yang dengannya menggandeng perusahaan perkebunan kelapa sawit. Tjeppy menghitung, supaya stok pakan tercukupi, setiap dua hektare lahan sawit rata-rata mampu menampung lima ekor sapi. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendukung proyek itu, mulai Maret ini pemerintah mengucurkan pinjaman Rp 2,5 trilyun. Pengelola kebun sawit berlaku menjadi penjamin atas kredit yng diberikan ke plasmanya.
Setiap plasma maksimal mampu mendapatkan pinjaman Rp 25 juta. Pengertiannya, ada 100.000 plasma yng kebagian. "Dengan pinjaman itu, plasma bisa membeli lima ekor sapi bakalan," ujar Tjeppy. Menjadikan ada tambahan sapi siap potong 500.000 ekor per tahun. "Ini cukup untuk menutup dari impor selama ini." Toh, itu Amat bergantung pada kemauan pemilik kebun sawit.
Irwan Andri Atmanto, Syamsul Hidayat, serta Rach Alida Bahaweres
[Ekonomi, Gatra Nomor 16 Beredar Kamis, 28 Februari 2008]
Silakan copy-paste yang dengannya tetap mencantumkan link sumber


Sumber Rujukan Dan Gambar : http://www.pulangkandang.com/2008/03/yang-beku-bikin-pilu-dari-gatra-dotcom.html

Seputar Yang Beku Bikin Pilu (dari Gatra dotcom)

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Yang Beku Bikin Pilu (dari Gatra dotcom)