Subsektor Peternakan, Kuantitas & Kualitas

- Oktober 06, 2017

Subsektor Peternakan, Kuantitas & Kualitas

 

Oleh H. Acho Soedarso
MENGIKUTI alur serta konstruksi pengamatan Rochadi Tawaf, dalam tulisannya bertajuk "Mengejar Swasembada, Mengorbankan Peternak" (Pikiran Rakyat, 14/1), menarik bagi atau bisa juga dikatakan untuk dikaji ulang bersama. Utamanya dikaitkan yang dengannya urgensi pembangunan subsektor peternakan di lapangan. Yang dengannya sanggahan, bahwasanya kebijakan impor bukanlah kebijakan swasembada. Kegiatan impor, tak kontekstual yang dengannya program swasembada. Malah anomali, kontradiktif ranah pijakannya.
Kekhawatiran yng dilansir dalam goresan pena itu, yang dengannya (rencana) direalisasikannya impor daging dari luar negeri (Brasil) diantamir akan mengorbankan peternak. Logika sederhananya, lantaran diprediksi akan mempunyai efek domino terhadap harga daging yng diperkirakan akan jatuh, khususnya daging asal ternak lokal. Pada gilirannya akan mematikan peternak menjadi produsen/penyedia daging.
Ada beberapa hal yng butuh dicermati secara komprehensif. Pertama merupakan apakah peta produksi (mapping) telah dimiliki serta tersedia bagi atau bisa juga dikatakan untuk seluruh wilayah tentunya, yang dengannya prioritas yng terkenal menjadi kantong ternak. Baik pada peternakan rakyat, ataupun pada perusahaan peternakan (ternak potong) berskala besar yng berbasis padat modal serta teknologi. Kedua merupakan sejauh mana secara sustainable dalam konteks kuantitas serta kualitas, sudah serta bisa memenuhi konsumsi warga atau juga bisa dikatakan masyarakat. Ketiga, akselerasi pemenuhan kebutuhan year to year trend-nya akan terus meningkat. Konfigurasi beberapa pemikiran yang telah di sebutkan tentunya butuh digarisbawahi serta dipikirkan bersama, mengingat bahwasanya konsumen terus bertambah, berubahnya pola konsumsi, segmentasi konsumen bergeser sekalian berganti dalam warga atau juga bisa dikatakan masyarakat.
"Mapping area"
Kembali ke duduk perkara mapping serta pola produksi, diketahui bahwasanya wilayah timur Indonesia (NTT, NTB, Madura) Jatim serta Jateng adalah wilayah produsen ternak potong yng akan menyuplai DKI Jakarta. Itu pertama. Kedua, yng pernah saya ketahui dahulu di daerah Lampung menjadi basis pengembangan populasi sapi Bali . Apakah proses serta keberadaan produksinya masih tetap berjalan yang dengannya baik hingga tatkala ini? Ketiga, pola pengembangan sapi induk unggul impor yng didukung yang dengannya system IB (Inseminasi Buatan/AI) di wilayah Ciamis Selatan (misalnya, Desa Kondangjajar Cijulang), apakah telah berproduksi maksimal? Demikian halnya di wilayah Sulawesi Selatan (Kabupaten Wajo), serta daerah lain-lainnya, pula Jateng selatan (Kabupaten Kebumen serta Purworejo), serta Jabar selatan (Kabupaten Tasikmalaya serta Ciamis). Yng diajukan lebih dulu, apakah kondisi riil itu seluruh telah bisa memenuhi konsumsi dalam konteks kuantitas. Barulah lantas sesi selanjutnya, bicara aspek kualitas yng tentu saja Perlu menjadi concern para pihak yng berkepentingan. Oleh lantaran itu, mapping area butuh di lakukan serta di-review secara periodik. Kepentingannya bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengetahui secara pasti, aneka macam wilayah kantong-kantong ternak yng produktif.
Secara cermat tampaknya Perlu bisa diukur tingkat kemampuan produsen dalam negeri (baca: peternak) dari peternak lokal bisa atau mampu memenuhi demand secara kuantitas serta kualitas sesuai yang dengannya harapan. Bila tak, ruang celah yng terbuka ini terasa Amat nyaman bagi atau bisa juga dikatakan untuk melakukan kegiatan impor daging sapi dari luar oleh para pihak salah satunya Deptan. Di sinilah bisa ada dugaan entry point Deptan bagi atau bisa juga dikatakan untuk melakukan impor daging.
Kalaupun di lakukan impor, haruslah dimaknai upaya menutup "danger area" dalam spektrum supaya demand terpenuhi. Derajat inisiatif melakukan larangan impor, Perlu diseimbangkan yang dengannya kondisi objektif. (1) Struktur serta pembangunan peternakan lokal (baca nasional : rakyat serta perusahaan) telah ditata kelola serta terorganisasi yang dengannya baik serta berkelanjutan. (2) Kondisi aneka macam "limited factor" Perlu terpecahkan secara simultan berupa lahan yng dibatasi, pakan yng tak tersedia secara khusus, teknologi, bibit, vaksin, serta obat-obatan dan terbatasnya pelaku peternak (generasi muda tidak lebih berminat). (3) Produksinya Perlu telah bisa memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri menjadikan tak didapati "danger area" bagi konsumen aneka macam strata. (4) Pembatasan impor di lakukan yang dengannya tujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menghemat devisa negara menjadikan dananya bisa dialokasikan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendukung pembangunan peternakan berbasis kerakyatan. (5) Terselenggara serta terorganisasinya pembangunan peternakan yng mampu berdiri diatas kaki sendiri menjadi upaya swasembada daging di tingkat nasional, didukung yang dengannya "political will" yng baik dari pemerintah. (6) Lembaga perbankan nasional mendukung penuh pembiayaannya, yang dengannya berbasis pada profit serta feasibility tinggi. (7) Penanggulangan penyakit yng baik dan tersedianya obat-obatan, vaksin, vitamin yng memadai serta harganya terjangkau. (8) Optimalisasi potensi sumber daya (lahan, SDM terampil, pasar, modal), potensi wilayah serta kearifan lokal. (9) Pelaksanaan program inseminasi buatan diarahkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendorong perbaikan genetika serta kualitas, yang dengannya pola gratis; menuju swasembada peternakan berbasis kerakyatan.
Penutup
Masalah substansial kembali kepada pola konsumsi, siklus produksi, kesinambungan produksi, selera konsumen, serta ekses/dampak globalisasi, faktor pembatas, kelembagaan, serta kanal pembiayaan. Yang dengannya satu main set konkret bahwasanya pola mampu berdiri diatas kaki sendiri terjemahannya mempunyai kemampuan menyediakan bahan pangan daging menjadikan kebutuhan dalam negeri tercukupi. Dalam spektrum produksi bisa memenuhi terhadap aspek kuantitas serta kualitas bagi konsumen.
Impor Perlu diidentifikasi serta disepakati, bukanlah diswasembada. Dipahami bahwasanya impor serta swasembada mempunyai dimensi usaha, yng berbasis risiko serta return. Impor jangan diklaim menjadi sudden death terhadap upaya swasebada pembangunan peternakan yng digagas secara utuh. Keberadaannya Perlu saling mengisi serta menguntungkan. Membangun landasan pacu yng kokoh bagi atau bisa juga dikatakan untuk swasembada daging (serta ternak), jauh lebih penting. Tak butuh day dream di sedang kondisi globalisasi. Realita yng Perlu dimunculkan, dikelola, serta dikontrol secara bijak.
Impor ataupun swasembada, sekali lagi jawabannya merupakan kuantitas serta kualitas.***
Penulis, alumnus Fapet Unpad Bandung serta S-2 MMA UGM Yogyakarta.
Source: pikiran-rakyat.com
Silakan copy-paste yang dengannya tetap mencantumkan link sumber


Sumber Rujukan Dan Gambar : http://www.pulangkandang.com/2009/02/subsektor-peternakan-kuantitas-kualitas.html

Seputar Subsektor Peternakan, Kuantitas & Kualitas

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Subsektor Peternakan, Kuantitas & Kualitas