Menuju Swasembada Daging Sapi: Benchmarking, Kendala dan Solusi Perbibitan

- Juli 18, 2017

Menuju Swasembada Daging Sapi: Benchmarking, Kendala dan Solusi Perbibitan

 
Membaca goresan pena Dahlan Iskan wacana masalah perbibitan sapi di Indonesia dalam ‘Manufacturing Hope 67’ sangatlah menarik dan bersajikan fakta aktual. Taklah mengejutkan lantaran goresan pena beliau ini adalah kesimpulan hasil diskusi bersama ahli–ahli peternakan dari banyak sekali perguruan tinggi dan LIPI.
Begitu lemahnya system produksi sapi didalam negeri, lebih-lebih perbibitan menjadikan dalam memproduksi seekor pedet yng bernilai Rp. 5 juta, petani mengeluarkan biaya setara Rp. 9 juta. Rugi Rp. 4 juta yang dengannya waktu produksi dua tahun juga! Akan tetapi kebanykan petani tak menghitung lelahnya mencari rumput, memelihara dan memandikan ternak kedalam ongkos pakan dan tenaga kerja.
Itulah sebagian fakta yng diungkapkan dalam goresan pena yang telah di sebutkan. Itulah barangkali kenapa tidak sedikit petani, lebih-lebih golongan muda di desa–desa, lebih memilih mencicil motor dan berpindah profesi menjadi tukang ojeg, menjadi kuli bangunan di perkotaan ataupun menjadi TKI diluar negeri. Terlenanya negeri ini yang dengannya produk daging sapi impor membuat terbuai dan tak mampu membangun system produksi sapi yng baik didalam negeri.
Puji syukur, zaman sudah berganti. Berita kian cepat dan terbuka membuat sebagian besar warga atau juga bisa dikatakan masyarakat petani, pemerintah dan akademisi paham akan perlunya perubahan, menuju system produksi sapi di dalam negeri yng baik dan mensejahterakan seluruh stake holders-nya.
Benchmarking
Di Australia, system produksi sapi dikelola Amat baik, petani dan industri saling berdampingan. Waktu kuliah S2 di Australia, saya memiliki sahabat seorang pengemudi tractor di Universiy farm yang dengannya gaji sekitar AUD$20/jam sekalian menjadi petani di ladang pertanian dan penggembalaan sapi puluhan hektar miliknya.
Di lain peluang, saya pernah dititipi rumah dan farm sapi puluhan hektar oleh satu dari sekian banyaknya dosen selama beliau dan keluarganya berlibur. Pekerjaan yng Amat gampang meskipun sendirian, cuma memeriksa tempat minum di padang penggembalaan dan membukaan beberapa pagar penggembalaan andaikan sapi Perlu dirotasi.
Kelembapan Australia yng relatif rendah membuat sapi tak rentan terhadap penyakit meskipun digembalakan sepanjang hari diluar. Ini menggambarkan betapa mudahnya petani–petani disana memelihara sapi malah mampu disambi yang dengannya pekerjaan yng lain. Mayoritas penduduk Australia di daerah pedalaman ataupun malah dipinggiran kota memiliki lahan penggembalaan yng diisi oleh ternak, utamanya sapi.
Petani di Australia susah terjerat oleh tengkulak yang dengannya menjual sapi Amat murah lantaran kebutuhan uang mendesak contohnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk anggota keluarga yng sakit maupun sekolah anak. Biaya kebugaran atau kesehatan dan sekolah disana, hingga setingkat SMA gratis, ditanggung oleh pemerintah. Orang-orang bebas menjual ternaknya di pasar lelang maupun langsung dijual ke RPH, cash pastinya!
Selain petani, lingkup system produksi kedua merupakan industri. Sebagian besar industri sapi di Australia adalah bisnis terintegrasi antara perbibitan, penggemukan, RPH dan pengemasan. Sebut saja di antaranya Australian Country Choice Ltd., perusahaan tempat saya melakukan praktek kerja lapangan.
Pemrosesan Daging Sapi di Australian Country Choice (sumber: www.accbeef.net.au)
Perusahaan ini mengelola lahan seluas total 662,5 ribu hektar yng tersebar di 54 wilayah di Quennsland. Sebagian besar lahan merupakan padang penggembalaan bagi atau bisa juga dikatakan untuk perbibitan. Perusahaan pula memiliki 2 feedlot berkapasitas lebih dari 20 ribu ekor bagi atau bisa juga dikatakan untuk menangkap pasar dari konsumen penggemar 'grains-finished beef' dan 1 plant processing (rumah potong dan pengemasan daging).
Kombinasi system produksi berbasis petani dan industri ini hasil nya luar biasa. Kebutuhan daging domestik Amat gampang dipenuhi. Kelebihan produksi memaksakan orang-orang invansi ke pasar internasional. Diplomasi pemerintah membantu eksportir dalam proses yang telah di sebutkan. Satu dari sekian banyaknya pasar yng diinvansi merupakan tetangganya sendiri, Indonesia.
Dalam invansi pasar daging international, tatkala ini Australia menghadapi tekanan dari beberapa Negara Latin semisal Brazil dan Argentina. Brazil gencar berpromosi dan berdiplomasi dalam menginvansi pasar daging sapi international. Lebih-lebih membuat yakin negara tujuan ekspor bahwasanya daging dari negaranya bebas penyakit dan aman dikonsumsi. Promosi dan diplomasi yang telah di sebutkan telah mulai membuahkan hasil. Daging sapi dari Brazil telah masuk ke beberapa negara-negara di Eropa dan pula China. Di Indonesia sendiri daging sapi dari Brazil tak bisa diterima lantaran Indonesia menganut system Country based Zone bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengontrol penyakit dari negara importir, semisal yng telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Daging impor Brazil ini memanglah lebih menggiurkan dari sisi harga dibanding yang dengannya daging sapi Australia. Jatuhnya lebih murah lebih-lebih dalam rupiah. Pertama, lantaran upah minimum di Australia sekitar AUD$ 16/hour (Rp158.000/jam!) jauh lebih tidak murah dibandingkan yang dengannya upah minimum di Brazil yng sekitar seperlimanya. Kedua, kenaikan mata uang dollar Australia yng signifikan terhadap rupiah. Dollar Australia saat ini diatas dollar Amerika! (Rp. 9.930 vs Rp. 9.680, sumber: GMC).
Berhasilnya Negara berkembang semisal Brazil dalam system produksi sapi membuat saya yakin Indonesia mampu mengikuti. Kelembapan tropis yng tinggi dan identik yang dengannya mudahnya ternak terserang penyakit diluar dugaan bukan halangan. Secara teknis mampu disiasati. Itu lah kenapa saat ini di publikasi jurnal–jurnal peternakan internasional mulai tidak sedikit diisi oleh ilmuwan–ilmuwan dari universitas–universitas di Brazil dan Argentina. Percis semisal halnya di Australia dan USA, di Brazil dan Argentina pun kemajuan sektor peternakan berbanding lurus yang dengannya kemajuan kontribusi dari akademisinya.
Lantas dimana posisi Indonesia?
Pasar daging sapi di Indonesia sangatlah besar. Pertama, populasi penduduk yng besar sekitar 235 juta jiwa. Kedua, pertumbuhan ekonomi yng terjaga dikisaran 6% dalam beberapa tahun yang terakhir, memicu bertambahnya kalangan menengah ke atas secara signifikan. Kalangan ini berpotensi menaikan konsumsi daging. Ketiga, konsumsi daging yng Amat tinggi pada hari raya keagamaan semisal Idul Adha dan Idul Fitri. Akan tetapi tingginya pasar domestik ini tak dimanfaatkan yang dengannya baik oleh bangsa sendiri.
Terbuai oleh mudahnya impor, menjadikan Indonesia terlena tak membuat system produksi dan tataniaga sapi yng baik, lebih-lebih system hulu yng Amat penting, yakni perbibitan! Tak ada bibit, tak ada bakalan sapi, apa yng mau digemukan? Perbibitan di dalam negeri masih bergantung kepada peternak di desa – desa yang dengannya skala kepemilikan tidak banyak. Belum ada perbibitan berskala industri. Industri masih ‘wait and see’ bagi atau bisa juga dikatakan untuk terjun ke perbibitan lantaran memanglah resikonya besar dalam hitung - hitungan usaha. Investasinya besar dan perputaran uangnya pun lama. Lebih gampang impor daging. Cepat dan menguntungkan.
Padahal sektor penggemukan salah satunya feedlot butuh puluhan ribu bakalan sapi setiap 3 bulan periode penggemukan. Yang dengannya sulitnya bakalan sapi ini, feedlot-feedlot pun memilih mengimpor sapi bakalan dari Australia bagi atau bisa juga dikatakan untuk digemukan selama tidak lebih lebih 3 bulan sebelum dijual dan dipotong di RPH. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk sektor penggemukan, Indonesia salah satunya Amat sukses. Melimpahnya sumber pakan lebih-lebih limbah industri agro Amat murah dan menguntungkan. Yang dengannya pertumbuhan bobot badan sapi 1,2 – 1,6 kg/hari bagi atau bisa juga dikatakan untuk Brahman Cross telah Amat memuaskan. Akan tetapi tetap, masalah kedepan yng Perlu dicarikan jalan keluarnya merupakan perbibitan.
Yang dengannya adanya pembatasan kuota impor daging dan sapi bakalan yng diterapkan pemerintah tatkala ini, industri sapi Perlu mulai fokus melirik perbibitan. Kalau swasta masih 'wait and see', BUMN lah yng Perlu menjadi pelopor! Kedepan yng sukses disektor perbibitan yng akan menjadi leader di industri ini. Persis semisal Charoen Pokphand di industri perunggasan yng tatkala ini menjadi leader lantaran yng paling menguasai perbibitan.
Kendala dan solusi perbibitan sapi
Sebetulnya begitu kompleks kendala perbibitan sapi ini, baik yng menyangkut issue teknis e.g genetik, pakan dan kontrol lingkungan. Maupun non-teknis semisal kebijakan pemerintah. Akan tetapi ada dua poin yng ingin saya diskusikan semisal dibawah ini:
Lahan dan keamanan
System intensif bagi atau bisa juga dikatakan untuk perbibitan bukanlah pilihan yng menguntungkan. Semisal diketahui, menghasilkan anak sapi itu lama. Induk dikawinkan, bunting lantas melahirkan anak. Anak sapi ini pula Perlu dipelihara berbulan–bulan hingga siap digemukan. Kalau dipelihara intensif, berapa biaya pakan dan tenaga kerja yng dikeluarkan selama proses ini? Pasti tak masuk dalam hitungan usaha kecuali barangkali diintegrasikan yang dengannya bisnis sapi perah dimana anakan jantan kelak akan dipelihara bagi atau bisa juga dikatakan untuk penggemukan dan penutup biaya pemeliharaan merupakan hasil susu dari induk.
Yng paling murah bagi atau bisa juga dikatakan untuk perbibitan merupakan system penggembalaan. Butuh tidak banyak tenaga kerja lantaran sapi–sapi dibiarkan cari makan sendiri dan rumputnya pun tumbuh secara alami. Tentu saja awal mulanya ditanami. Akan tetapi tips ini butuh lahan yng Amat luas lebih-lebih bagi atau bisa juga dikatakan untuk skala industri.
Meskipun lahan kosong berlimpah diluar jawa, akan tetapi Amat kompetitif. Pertanyaannya, apakah padang penggembalaan bagi atau bisa juga dikatakan untuk perbibitan sapi lebih menguntungkan dari perkebunan sawit, komoditas pertanian lain ataupun pertambangan? Belum lagi tips memperoleh lahan yng susah, semisal kasus Buol. Belum lagi masalah pencurian ternak yng marak berlangsung. Di Indonesia, faktor keamanan Amat penting. Ternak didalam sangkar pun Suka dicuri apalagi yng digembalakan diluar.
Solusi yng mampu dicoba merupakan mengintegrasikan sapi dan sawit, meskipun mampu jadi rumput yng ditanam disekitar pohon sawit mampu menjadi gulma yng bisa menurunkan produksi sawit. Perlu diteliti rumput apa yng cocok dan mempunyai pengaruh negatif paling kecil terhadap produksi sawit. Perlu dihitung pula apakah andai ada penurunan produksi sawit terkompensasi yang dengannya untung dari perbibitan sapi. Penelitian Perlu mulai di lakukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menjawab itu seluruh.
Potensi solusi kedua, mempercepat reklamasi lahan bekas galian batu bara yng Amat luas, barangkali jutaan hektar di Kalimantan dan Sumatera bagi atau bisa juga dikatakan untuk dijadikan padang penggembalaan. Penelitian Perlu mulai difokuskan pada bagaimana mempercepat proses reklamasi dan rumput apa yng paling cocok pada kondisi lahan yang telah di sebutkan. Solusi ini memungkinkan! Di Inggris, lahan bekas tambang batu bara dimasa lantas, saat ini menjadi padang penggembalaan. Kalau solusi ini sukses, barangkali kelak taipan–taipan tambang batu bara yng masuk orang-orang terkaya versi majalah forbes saat ini merupakan pengusaha sapi dimasa yng akan datang.
Perbaikan tata niaga salah satunya revitalisasi jagal
Telah menjadi sesuatu yang di sembunyikan umum bagi orang peternakan bahwasanya usaha sapi potong ini keras. Kalau tak hati – hati gampang ditipu. Macetnya pembayaran uang seusai sapi dipotong di jagal-jagal menjadi masalah klasik yng Suka menghampiri peternak. Makanya sebagian besar perusahaan feedlot mewajibkan pembeli membayar cash berlebi dahulu sebelum sapi–sapi bisa dikeluarkan, diangkut dan dipotong di jagal.
Akan tetapi sebagian besar peternak tak memiliki posisi tawar yng tinggi semisal perusahaan feedlot, lebih-lebih orang-orang yng butuh uang segera lantaran ada anggota keluarga sakit ataupun anak masuk sekolah. Kalau ada sapi peternak sakit roboh, pasti ditaksir murah malah 1/2 dari harga seharusnya. Lantaran kerugian ini dia tidak sedikit peternak yng akhirnya tak bergairah lagi bagi atau bisa juga dikatakan untuk berternak. Telah melihara ternak sulit, nyari rumput sulit, pas dijual tekor, uangnya nyangkut juga. Lengkaplah penderitaan.
Kalau peternak telah tak bergairah lagi, bagaimana mau menaikan populasi sapi dan swasembada daging?
Potensi solusi yng Perlu di lakukan merupakan memperbaiki kondisi dan manajemen jagal–jagal. Jagal ini merupakan ujung tombak tataniaga sapi. Mayoritas jagal dimiliki oleh pemerintah lewat dinas – dinas terkait didaerah. Di sayangkan, kebanykan jagal dikelola yang dengannya manajemen gaya ‘instansi’ pemerintah yng konvensional dan ala kadarnya. Ah, yng penting ada setoran restribusi. Barangkali semisal itu pemikirannya.
Menjadi ujung tombak tata niaga, kondisi jagal butuh diperbaiki. Tak ada salahnya dinas menjalankan manajemen modern ber ISO yang dengannya quality kontrol yng baik. Tempat bersih hygienis, infrastruktur lengkap, staf–staf yng ramah dan melayani. Kualitas potongan karkas baik dan terkontrol menjadikan tak merugikan peternak ataupun pembeli karkas. Perputaran uang ditata menjadikan mampu menjadi 'wasit' yng fair bagi pemilik sapi dan pembeli karkas. Pembeli karkas mampu diminta menyimpan sejumlah uang deposit bagi atau bisa juga dikatakan untuk memastikan orang-orang membayar penuh kepada peternak pemilik sapi.
Terobosan–terobosan lain pula dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memastikan tataniaga sapi ini fair dan saling menguntungkan.
Diky Ramdani
alumni Fapet Unpad - Gallus 2000
Kandidat PhD di Newcastle University UK
Silakan copy-paste yang dengannya tetap mencantumkan link sumber


Sumber Rujukan Dan Gambar : http://www.pulangkandang.com/2013/03/menuju-swasembada-daging-sapi.html

Seputar Menuju Swasembada Daging Sapi: Benchmarking, Kendala dan Solusi Perbibitan

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Menuju Swasembada Daging Sapi: Benchmarking, Kendala dan Solusi Perbibitan